Kamis, 20 Mei 2010

Muqaddimah Rubrik Membela Hadits Nabi

Muqaddimah Rubrik Membela Hadits Nabi

Membela Hadits Nabi (Bag. I: MUQADDIMAH)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

الْحَمْدُ لِلَهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:

pedangSesungguhnya pokok landasan agama kita yang mulia adalah kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Allah telah berjanji akan menjaga kemurnian Al-Qur’an:

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)

Jaminan Allah dalam ayat ini telah terbukti dan tak terbantahkan. Oleh karenanya, selama berabad-abad lamanya, tidak ada seorangpun yang mencoba untuk merubahnya, menambahinya, menguranginya atau menggantinya kecuali Allah pasti membongkar makarnya dan menyibak tirainya[1].

Adapun Sunnah Nabi, maka dia juga merupakan wahyu dari Allah yang berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl: 44)

Sebagai seorang muslim, kita mesti percaya bahwa setiap apa yang diucapkan oleh Nabi pasti benar dan tiada kebohongan di dalamnya, karena kita telah mengetahui bersama bahwa apa yang beliau ucapkan adalah berdasarkan bimbingan wahyu dari Rabbul Alamin.

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS. An-Najm: 3-4)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْئٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ أُرِيْدُ حِفْظَهُ, فَنَهَتْنِيْ قُرَيْشٌ, وَقَالُوْا : أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْئٍ وَرَسُوْلُ اللهِ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى ! فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ, فَذَكَرْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ, فَأَوْمَأَ بِإِصْبِعِهِ إِلَى فِيْهِ, فَقَالَ : اكْتُبْ, فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ

Dari Abdullah bin Amr berkata: Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah untuk kuhafalkan, namun Quraish melarangngku seraya mengatakan: Apakah engau menulis segala sesuatu, padahal Rasulullah adalah seorang manusia yang berbicara ketika marah dan ridha?! Akupun menahan diri dari penulisan sehingga aku mengadukannya kepada Rasullalh, lantas beliau mengisyaratkan dengan jarinya ke mulutnya seraya bersabda: Tulislah, Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah keluar darinya (mulut Nabi) kecuali al-Haq (sesuatu yang jujur dan benar)[2].


Kalau demikian keadaannya, maka merupakan kewajiban bagi setiap muslim apabila mendapati sebuah hadits yang shahih adalah membenarkannya, mengamalkan isinya dan mengagungkannya. Allah berfirman:

Apa yang diberikan Rasul maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7)

Namun bagaimana kenyataan yang kita saksikan bersama?! Fenomena yang kita saksikan di lapangan seakan menjawab: Alangkah derasnya hujan hujatan terhadap sunnah Nabawiyyah! Alangkah dahsyatnya serangan dan tikaman yang dihunuskan kepadanya! Tahukah anda, apa sebenarnya alasan mereka?! Mereka tiada memiliki alasan kecuali hanya alasan-alasan rapuh: Hadits ini bertentangan dengan akal! Hadits ini bertentangan dengan ilmu medis! Hadits ini bertentangan dengan Al-Qur’an! Hadits ini hanya berderajat Ahad! Landasan kita hanyalah Al-Qur’an saja! Dan sederet alasan rapuh lainnya[3].

Allahu akbar!! Sungguh benar apa yang diinformasikan oleh Nabi semenjak beberapa abad yang lalu tentang orang-orang model mereka, katanya:

أَلاَ إِنِّيْ أُوْتٍيْتُ الْقُرْاَنَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ. أَلاَ يُوْشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانَ عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْاَنِ، فَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوْهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَرَاٍم فَحَرِّمُوْهُ.

Ketahuilah bahwa aku mendapatkan wahyu Al-Qur’an dan juga semisalnya (hadits) semisalnya. Ketahuilah, hampir saja akan ada seseorang duduk seraya bersandar di atas ranjang hiasnya dalam keadaan kenyang, sedang dia mengatakan, ‘Berpeganglah kalian dengan al-Qur’an. Apa yang kalian jumpai di dalamnya berupa perkara halal, maka halalkanlah. Dan apa yang kalian jumpai di dalamnya berupa perkara haram, maka haramkanlah.[4].

Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian. Sebab apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah n/ ini benar-benar telah terbukti nyata. Imam Baihaqi berkata: “Inilah khabar Rasulullah n/ tentang ingkarnya para ahlu bid’ah terhadap hadits beliau. Sungguh apa yang beliau n/ sampaikan telah nyata terjadi.”[5]

Maka merupakan suatu kewajiban yang amat mendasar bagi setiap muslim yang cemburu terhadap sunnah Nabi untuk mengadakan pembelaan terhadap hadits-hadits beliau dari hujatan para musuhnya, membongkar kebohongan mereka, dan membantah syubhat-syubhat mereka.

Saudaraku, marilah kita bersama menjadi pembela sunnah Nabi. Marilah kita siapkan diri kita dengan bekal ilmu dan kekuatan untuk menjadi pejuang Sunnah Nabi! Apakah kita tidak ingin menjadi rombongan yang dido’akan oleh Nabi dalam haditsnya:

نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا ثُمَّ أَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا

Semoga Allah mencerahkan wajah seorang yang mendengar sebuah hadits dariku lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar. [6]

Al-Khathib al-Baghdadi berkata: “Allah menjadikan golongan selamat sebagai penjaga agama dan penangkis tipu daya para penyimpang, disebabkan keteguhan mereka dalam menjalankan syari’at Islam dan meniti jejak para sahabat dan tabi’in. Sungguh betapa banyak para penyeleweng yang ingin mencampuradukkan syari’at dengan kotoran lainnya, lalu Allah membela agamaNya melalui para ahli hadits yang siap membela dan menjaga pondasi-pondasi agama. Merekalah pasukan Allah, ketahuilah bahwa pasukan Allah pasti beruntung”.[7]

Sesungguhnya potret para ulama dalam pembelaan terhadap sunnah Nabi sangatlah mengagumkan sekali. Pernah ada seorang berkata kepada Yahya bin Ma’in: Apakah engkau tidak khawatir bila orang-orang yang engkau kritik tersebut kelak menjadi musuhmu di hari kiamat? Beliau menjawab: “Bila mereka yang menjadi musuhku jauh lebih kusenangi daripada Nabi n yang menjadi musuhku, tatkala beliau bertanya padaku: Mengapa kamu tidak membela sunnahku dari kedustaan?!!![8] Dan tatkala disampaikan kepadanya sebuah hadits riwayat Suwaid al-Anbari, beliau mengatakan: “Seandainya saya memilki kuda dan tombak, niscaya saya akan memerangi Suwaid!!”. [9]

Saudaraku, sesungguhnya membela hadits ini Nabi merupakan suatu amalan yang amat mulia dan utama. Oleh karenanya, tidak heran bila para ulama menilainya sebagai Jihad fi Sabilillah. Imam Yahya bin Yahya pernah mengatakan:

الذَّبُّ عَنِ السُّنَّةِ أَفْضَلُ مِنَ الْجِهَادِ

Membela sunnah lebih utama daripada jihad[10].

Imam Al-Humaidi mengatakan:

وَاللهِ! لأَنْ أَغْزُوَ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَرُدُّوْنَ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ n أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَغْزُوَ عِدَّتَهُمْ مِنَ الأَتْرَاكِ

Saya perang melawan orang-orang yang menolak hadits Nabi lebih saya sukai daripada saya perang melawan pasukan kafir sejumlah mereka[11].


Syaikh Muhammad bin Murtadha al-Yamani berkata:

“Pembela sunnah adalah seperti seorang yang berjihad di jalan Allah, yang mempersiapkan alat, kekuatan dan bekal semampunya, sebagaimana firman Allah:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. (QS. Al-Anfal: 60)

Telah shahih dalam Shahih Bukhari bahwa Malaikat Jibril mendukung Hassan bin Tsabit tatkala dia melantunkan syair-syairnya dalam rangka pembelaannya terhadap Nabi. Demikian pula setiap orang yang membela agamanya dan sunnahnya karena didasari rasa cinta kepada Nabi”.[12]

Marilah kita renungkan bersama ucapan indah Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berikut dalam Nuniyahnya 196-200:

وَاصْدَعْ بِمَا قَالَ الرَّسُوْلُ وَلاَ تَخَفْ مِنْ قِلَّةِ الأَنْصَارِ وَالأَعْوَانِ

فَاللهُ نَاصِرُ دِيْنِهِ وَكِتَابِهِ وَاللهُ كَافٍ عَبْدَهُ بِأَمَانِ

لاَ تَخْشَ مِنْ كَيْدِ الْعَدُوِّ وَمَكْرِهِمْ فَقِتَالُهُمْ بِالزُّوْرِ وَالْبُهْتَانِ

فَجُنُوْدُ أَتْبَاعِ الرَّسُوْلِ مَلاَئِكٌ وَجُنُوْدُهُمْ فَعَسَاكِرُ الشَّيْطَانِ

شَتَّانَ بَيْنَ الْعَسْكَرَيْنِ فَمَنْ يَكُنْ مُتَحَيِّزًا فَلْيَنْظُرِ الْفِئَتَانِ

Tegarlah dengan ucapan Rasul dan janganlah khawatir

Karena sedikitnya kawan dan teman.

Allah penolong agamaNya dan kitabNya

Allah menjamin keamanan bagi hambaNya

Janganlah takut tipu daya musuh dan makar mereka

Karena senjata mereka hanyalah tuduhan dan kedustaan

Pasukan pengikut Rasul adalah para Malaikat

Adapun pasukan mereka adalah bala tentara Syetan

Alangkah jauh perbedaan antara dua pasukan tersebut

Barangsiapa mundur, maka hendaknya melihat dua pasukan tersebut.


Buku yang kini berada di hadapan anda merupakan sebuah upaya sederhana dari seorang hamba yang lemah untuk berpartisipasi dalam mengadakan pembelaan terhadap sunnah Nabi serta jawaban atas hujatan yang diarahkan kepadanya. Semoga buku ini bisa dijadikan sebagai contoh dan pedoman dalam masalah penting ini.

Sebagaimana mungkin telah diketahui oleh sebagian kita bahwa asli buku ini adalah beberapa artikel yang pernah disusun oleh penulis beberapa tahun lalu dalam Majalah “Al Furqon” pada rubrik hadits. Kemudian sebagian diantara saudara kami -bahkan ustadz kami- mengusulkan agar artikel-artikel tersebut dibukukan. Maka dengan memohon pertolongan kepada Allah, kami berusaha memenuhi usulan tersebut karena kami menilai ini adalah sebuah usulan yang bermanfaat. Tentunya hal itu setelah adanya beberapa tambahan, perubahan dan pembenahan yang lebih baik dari sebelumnya sebagaimana diiketahui oleh seorang yang mau membandingkannya.

Pada kumpulan perdana ini, buku ini memuat beberapa pembahasan menarik yang berputar pada tiga tema pembahasan: aqidah, wanita, dan ilmu medis. Urutannya sebagai berikut:

  1. Dimana Allah?
  2. Turunnya Allah
  3. Adzab Kubur, Mutawatir atau Ahad?
  4. Kontroversi Imam Mahdi
  5. Dajjal, Imajinasi atau Fakta
  6. Turunnya Isa bin Maryam
  7. Maut disembelih
  8. Wahdatul Wujud, Salah Paham Hadits Wali
  9. Perpecahan Umat
  10. Wanita Di Saudi Arabia
  11. Presiden Wanita
  12. Nikah Tanpa Wali
  13. Hadits Lalat, antara Ilmu Hadits dan Ilmu Medis
  14. Penyakit Menular, antara Ahli Hadits dan Ahli Medis
  15. Sujudnya Matahari

Tak lupa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami haturkan kepada kedua orang tuaku yang telah membesarkanku, kepada para ustadzku di Ma’had Al Furqon, Gresik Jatim[13] dan para masayikhku di Jami’ Ibnu Utsaimin, KSA yang tidak pelit untuk mengajarkan ilmu kepadaku, kawan-kawanku yang telah bergaul baik denganku, kru Majalah Al Furqon yang tidak pelit dalam membantuku. Dan tak lupa, juga kepada saudara dan saudari kami yang telah memberikan saran dan kritikannya tentang artikel kami sehingga menjadi bahan berharga dalam perbaikan buku ini, kami sebut secara khusus ukhti Ummu Hamzah Asma’, akhi Abu Khubaib Ahmad Shiddiqi, akhi Deni bin Abu Daris al-Ghifari, dan selainnya. Bahkan juga kepada beberapa saudara kami yang mengirimkan bantahan dan sanggahan, karena kritikan-kritikan tersebut sangatlah mewah harganya bagi kami.

Pada kesempatan ini juga kami ingin menegaskan bahwa hati kami sangat siap terbuka menerima kritikan dari siapapun atas tulisan kami, namun tentunya harus disertai dengan ilmu da adab Islami. Kita memohon kepada Allah keikhlasan niat dalam segala amal perbuatan.

“Akhirnya, dengan hadirnya buku ini, kami berdoa agar kami dimasukkan oleh Allah ke dalam kelompok orang-orang yang membela Sunnah Nabi Muhammad dan menangkis kebohongan-kebohongan yang dituduhkan kepada beliau. Amiin.”[14]

Disusun oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mokhtar As-Sidawi

http://abiubaidah.com

Catatan Kaki:


[1] Lihat kisah menarik tentang hal ini dalam al-Jami’ li Ahkam Qur’an al-Qurthubi 10/6.

[2] HR. Abu Dawud 3646, ad-Darimi 1/125, al-Hakim 1/105-106, Ahmad 2/162, dan dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah 1532

[3] Lihat risalah “Syubuhat Haula Sunnah” oleh Syaikh Abdur Rozzaq ‘Afifi.

[4] HR. Abu Dawud (4604), Ahmad (4/130-131), dll. Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah (163).

[5] Dala’il Nubuwwah (1/25),

[6] Mutawatir. Sebagaimana ditegaskan oleh as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah hal. 5, az-Zabidi dalam Luqathul Alai al-Mutanatsirah hal. 161-162, al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 24, Syaih Abdul Muhsin al-Abbad dalam Dirasah Hadits Nadhdhara Allah Imra’am Sami’a Maqalati, Riwayah wa Dirayah hal. 21. (Lihat pula Faidhul Qadir al-Munawi 6/284 dan Kif dzah Salim al-Hilali hal. 278-279)

[7] Syaraf Ashabil Hadits, al-Khathib al-Baghdadi hal. 31

[8] Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah, al-Khathib al-Baghdadi hal. 61

[9] Mizanul I’tidal adz-Dzahabi 2/250

[10] Dzammul Kalam al-Harawi 4/254/no. 1089, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 4/13

[11] Dzammul Kalam al-Harawi 2/158/no. 236

[12] Iitsar al-Haq ‘ala Al-Khalq hal. 20

[13] Khususnya kepada ustadzuna wa waliduna karim Abu Muhammad Aunur Rafiq bin Ghufran Hamdani yang kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Masih segar dalam ingatanku, tatkala aku berpamitan kepada ibuku -semoga Allah menjaganya- untuk melakukan safar, dia berkata padaku:

“Jangan lupa untuk minta izin kepada ustadz Aun, karena beliau adalah seperti ayahmu”.

Hal itu karena setelah wafatnya ayahku -semoga Allah merahmatinya- dalam usiaku tujuh tahun, belaiulah (ust. Aunur Rafiq) yang mengasuhku dan membimbingku. Semoga Allah membalas kebaikan beliau dan memberkahi kehidupan beliau di dunia dan akherat. Amiin.

[14] Hadits-Hadits Bermasalah hal. 180 oleh Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub

Tidak ada komentar:

Posting Komentar