Minggu, 16 Mei 2010

Hidup dan Keimanan

Hidup dan Keimanan

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata bahwa Rasulullah saw. telah menceritakan kepada kami dan beliau adalah orang yang paling benar dan dibenarkan perkataannya, “Sesungguhnya sebagian kalian dikumpulkan bahan ciptaannya di rahim ibunya 40 hari dalam bentuk nuthfah. Kemudian menjadi ‘alaqah dalam masa yang sama (40 hari), kemudian menjadi mudghah dalam masa yang sama (40 hari). Kemudian Allah mengutus malaikat kepada ciptaan itu, lalu malaikat meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menuliskan empat ketetapan; Ketetapan rezki; Amal perbuatannya; Ajal usianya; Dan nasibnya di akhirat, sengsara (penghuni neraka) atau bahagia (penghuni surga). Demi Zat yang tidak ada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya ada salah seorang dari kalian yang melakukan perbuatan penghuni surga hingga antara jarak antara dia dengan surga sejauh satu hasta, lalu catatan takdirnya yang lebih dulu telah menggariskan hingga ia melakukan perbuatan penghuni neraka dan (akhirnya) ia masuk ke dalam neraka. Dan sesungguhnya ada orang yang melakukan perbuatan penghuni neraka hingga jarak antara dia dengan neraka sejauh satu hasta, lalu catatan takdirnya yang lebih dulu telah menggariskan, hingga ia melakukan perbuatan penghuni surga dan (akhirnya) ia masuk ke dalam surga. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Bunyi hadits di atas adalah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ مَسعُود رَضِى اللهُ عَنهُ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا (رواه البخاري ومسلم)

Tentang Hadits

Hadits ini adalah salah satu hadits yang disepakati keshahihannya oleh Imam hadits, Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Al-A’masy telah menceritakan kepada Abu Bakar bin Abu Syaibah, Abu Mu’awiyah, Waki’, Muhammad bin Abdullah bin Numair Al-Hamdani dari Zaid bin Wahab dari Abdullah bin Mas’ud r.a.

Telah diriwayatkan bahwa Muhammad bin Yazid Al-Ashfathi bermimpi bertemu Nabi saw, lalu ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah riwayat Abdullah bin Mas’ud yang ia ceritakan dari Engkau bahwa ia berkata, “Rasulullah telah menceritakan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan perkataannya, memang demikian? Rasulullah menjawab, “Demi Zat yang tidak ada Tuhan selain Dia, sungguh aku telah menceritakan hadits itu kepadanya”. Kalimat itu diulangnya tiga kali, lalu ia berdoa, “Semoga Allah mengampuni Al-A’masy sebagaimana ia menceritakan hadits ini dan semoga Allah mengampuni orang sebelum Al-A’masy yang menceritakan hadits ini dan juga orang yang menceritakan hadits ini setelah Al-A’masy.

Seperti disebutkan dalam hadits bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya, maka menyampaikan hadits atau ilmu agama kepada manusia termasuk memberikan manfaat kepada orang lain. Dengan ilmu agama, orang akan mengetahui hal-hal yang ia perlukan dalam mengarungi kehidupan.

Perawi memberikan penekanan dengan ungkapan وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ (Dialah yang benar dan dibenarkan perkataannya) karena memang yang akan disampaikan atau yang akan diriwayatkan ini adalah perkara yang tidak atau belum diketahui manusia, terutama pada masa setelah masa Rasulullah saw, yaitu perihal proses penciptaan manusia.

Dunia kedokteran baru-baru saja mengetahui bahwa proses penciptaan manusia terjadi sama seperti yang diceritakan oleh Rasulullah saw, 15 abad yang lalu ketika manusia atau tabib belum mengetahui pasti proses penciptaan manusia.

Di Antara Pelajaran Dari Hadits

Pelajaran pertama; Matan hadits ini diawali dengan penegasan parsial yang tidak menyeluruh, yaitu إِنَّ أَحَدَكُمْ (Sesungguhnya salah seorang kalian). Ungkapan ini adalah ungkapan yang sangat bijak dari Rasulullah saw, dan ungkapan yang komitmen dengan ilmu yang dimilikinya. Ungkapan ini menegaskan bahwa sebagian manusia diciptakan Allah dengan proses yang disebutkan di dalam hadits dan sebagian lainnya Allah sendiri yang menciptakannya.

Proses penciptaan Adam dan Hawa tidaklah sama dengan proses penciptaan anak keturunannya. Nabi Adam diciptakan langsung oleh Allah seperti yang diceritakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr ayat 28-29:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

Juga di dalam surat Shad ayat 71-72, Allah menegaskan:

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.

Tidak seperti proses penciptaan anak keturunan Adam, nabi Adam diciptakan Allah dari tanah atau tanah liat atau lumpur hitam seperti disebutkan dalam ayat-ayat di atas dan kemudian Allah menyempurnakannya, lalu Allah juga yang meniupkan ruh ke dalam jasad Adam a.s.

Karena itu ada beberapa ungkapan di dalam Al-Qur’an atau Hadits yang menggunakan bentuk jamak untuk beberapa perbuatan rabb, seperti “لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي كَبَدٍ” atau “لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ”. Kata “خَلَقْنَا” (Kami telah menciptakan) mengisyaratkan bentuk jamak subyek suatu perbuatan.

Jika kita teliti dengan seksama, maka secara aqidah pernyataan ini tidak bertentangan dengan aqidah tauhid. Allah menggunakan bentuk jamak dalam beberapa perbuatan-Nya di dalam Al-Qur’an, karena tindakan tersebut secara proses diwakilkan kepada tentara dan pembantu Allah, yaitu malaikat-Nya yang telah diberikan tugas khusus. Malaikat akan melakukan apa saja sesuai perintah Allah, “Wa yaf’aluuna maa yu-maruun”.

Dalam proses penciptaan manusia, seperti disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa tiap fase penciptaan 40 harian itu, Allah mewakilkannya kepada malaikat untuk menyempurnakan proses, hingga pada 40 hari yang ketiga Allah mengutus malaikat yang akan meniupkan ruh ke dalam jasad manusia dan mencatat empat ketetapan Allah dari Lauhil Mahfuzh, ketetapan rezki, amal perbuatan, usia dan nasibnya di akhirat. Dengan demikian, maka ungkapan khalaqnaa sangat tepat untuk menunjukkan bahwa dalam proses penciptaan manusia, Allah kuasa untuk mewakilkannya kepada malaikat-Nya. Itulah kekuasaan Allah. Allah mampu menciptakan manusia tanpa diwakilkan dan mampu pula menciptakan manusia melalui perwakilan-Nya. Sungguh Allah Maha Berkuasa dalam segala sesuatu.

Hadits ini juga membuktikan akan kebenaran ajaran Islam, karena sebelum dunia kedokteran mengetahui proses penciptaan manusia, Allah telah mengabarkan manusia melalui lisan nabi Muhammad saw.

Pelajaran Kedua; Manusia tidak tahu apa-apa dengan nasib orang lain. Ada yang sejak muda hingga dewasa dikenal masyarakat sebagai orang baik, orang shalih, ternyata di sisi Allah dia termasuk penghuni neraka. Ia menutup usianya dengan perbuatan penghuni neraka hingga ia termasuk penghuni neraka.

Ungkapan فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا dan فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا disebutkan dalam riwayat lain dengan ungkapan فَيُختَمُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا (kemudian ia tutup dengan perbuatan penghuni neraka dan ia masuk ke dalam neraka) menunjukkan bahwa kebaikan itu akan kekal dengan keikhlasan, sebagaimana pahala amal shalih akan langgeng, tidak berkurang jika tetap dijaga keikhlasan, sebelum berbuat, saat berbuat dan setelah berbuat.

Jika seseorang hanya ikhlas ketika akan berbuat, maka belum ada jaminan pahala yang ia dapatkan akan sempurna, karena bisa saja ia merusak keikhlasan itu dengan riya, dengan kata-kata yang menyakiti orang lain yang kita bantu atau lain perbuatan yang bisa merusak pahala amal.

Karena itulah ada orang yang dikenal masyarakat sebagai orang baik, tetapi di sisi Allah ia hanyalah orang yang mengharapkan pujian manusia.

Sebaliknya ada juga orang yang sulit berbuat baik, karena lingkungan atau sebab lain sehingga masyarakat memvonis dan memberi cap kepadanya sebagai orang tidak baik atau orang jahat. Tetapi siapa yang tahu takdir orang, kalau ternyata Allah justru telah menetapkan dia sebagai penghuni surga, maka ia pasti akan menemukan saat dan tempat yang tepat untuk bertobat dan berbuat baik hingga Allah menjemput ajalnya.

Kekuasaan Allah tidak sama dengan kuasanya manusia, maka takdir dan ketetapan Allah itu adalah salah satu bukti kekuasaan Allah seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad ketika salah seorang muridnya bertanya kepadanya tentang takdir dan beliau menjawab bahwa takdir itu adalah bukti kekuasaan Allah.

Jika manusia mengetahui sesuatu setelah kejadian, maka Allah Maha Mengetahui tentang segala kejadian. Sebelum, saat dan setelah kejadian Allah Maha Mengetahui. Pengetahuan Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kekuasaan Allah tidak dibatasi oleh dimensi apapun. Berbeda dengan manusia yang serba terbatas. Dibatasi dimensi waktu, sehingga kejadian esok tidaklah diketahuinya kecuali ketika saatnya tiba. Manusia juga dibatasi oleh dimensi ruang, kejadian di Jakarta tidak akan diketahuinya ketika ia berada tidak pada tempat kejadian. Atau kalau sekarang dunia sudah modern, maka masih banyak lagi kejadian yang berdimensi ruang dan waktu yang tidak diketahui oleh manusia. Itulah keterbatasan manusia.

Allah berbeda dengan makhluk-Nya. Allah Maha Berkuasa. Kuasa menetapkan, kuasa membagi penghuni surga dan penghuni neraka. Semua makhluk adalah milik Allah. Dia tidak akan ditanya atas segala tindakan-Nya. Manusialah yang akan ditanya segala perbuatannya di sisi Allah. Meskipun Allah tidak akan ditanya segala perbuatannya, tetapi Allah sangat menepati segala janji-Nya. Allah berjanji akan memasukkan orang yang berbuat baik dan beramal shalih ke dalam surga. Allah berjanji akan mengampuni orang yang bertobat sebelum ajal sampai di tenggorokan. Allah akan menyiksa orang yang berbuat dosa, meskipun Allah juga bisa mengampuni mereka dan memasukkannya ke dalam surga.

Pelajaran Ketiga; Hal penting yang perlu ditekankan dan ditegaskan adalah perkara rezki. Allah berjanji akan memberikan rezki kepada siapa saja makhluk-Nya di muka bumi. Dalam surat Hud ayat 6 disebutkan, “Wamaa min daabbatin fil ardhi illaa ‘alallaahi rizquhaa wa ya’lamu mustaqqahaa wamustauda’ahaa” (Dan tidak ada makhluk hidup di muka bumi ini, kecuali Allah yang akan memberikan rezkinya. Dan Dia mengetahui tempat berdiamnya dan tempat penyimpanannya).

Kalau kita cermati, kita tidak akan cepat menyalahkan takdir atau menyalahkan Allah, ketika kita disempitkan rezki oleh Allah. Pemberian rezki bukanlah ukuran sayangnya Allah kepada manusia, karena semua makhluk pasti akan diberikan rezki. Kita tidak boleh berbangga dengan limpahan rezki dan tidak boleh berkecil hati dengan rezki yang pas-pasan. Tiap manusia mempunyai jatah rezki yang berbeda dengan jatah orang lain.

Orang lain tidak akan bisa merebut rezki orang lain. Inilah ungkapan puncak ma’rifah kepada kekuasaan Allah seperti yang diungkapkan oleh Imam Hasan Al-Bashri ketika ditanya oleh muridnya, “Wahai guruku, apa rahasia zuhud baginda?” Kemudian Syeikh memberikan 4 rahasia dan salah satu rahasianya adalah ‘alimtu anna rezqii laa ya-khudz ghairii fatma-annat qalbii (aku tahu bahwa rezkiku tidak akan diambil oleh orang lain, maka hatiku menjadi tenang).

Ketenangan mengarungi kehidupan adalah modal untuk sampai kepada tujuan. Hati yang tenang akan banyak menyelesaikan permasalahan. Ketenangan tidak akan datang dengan sendiri. Ketenangan adalah puncak dari keimanan dan ingat kepada Allah. Iman yang didasari ma’rifah dan ingat akan kehambaannya di sisi Allah Taala.

Ingatlah bahwa hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar